Meliput Kekerasan Seksual Jangan Terjebak Pada Sensasi







Dalam waktu singkat sejak pengadilan di Manchester, Inggris, memvonis penjara seumur hidup Reynhard Sinaga atas kasus kekerasan seksual yang ia lakukan terhadap lebih dari 100 pria, media di Indonesia sibuk mengulik seluk beluk sosok Reynhard. Ketika sebagian masyarakat menikmati berita-berita seputar orientasi seksual Reynhard, siapa dan apa saja harta yang dimiliki keluarganya, di mana ia kuliah saat di Indonesia dan lainnya, ada sekelompok masyarakat lain yang menyadari arti penting memfokuskan diskusi hanya pada tindak kriminal yang dilakukan Reynhard. Dalam acara bertajuk ‘Menggugat Pembingkaian Media Terhadap Pemberitaan Kekerasan Seksual’, puluhan jurnalis membahas hal tersebut dengan Luviana, seorang jurnalis senior sekaligus pemimpin redaksi Konde.co, Erwin Dariyanto, managing editor/section head timeless content Detik.com, serta Firman Imanuddin, peneliti dan aktivis literasi media Remotivi. Diskusi ini diselenggarakan oleh Divisi Gender, Anak dan Kelompok Marjinal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta pada Minggu, 12 Januari 2020. Luviana menyebut sebagai contoh bagaimana The Guardian dan BBC dalam pemberitaannya untuk kasus ini tidak menonjolkan identitas Reynhard sebagai seorang gay. Perbedaan kontras terlihat jika dibandingkan dengan pemberitaan yang beredar di Indonesia. “Pers bukannya tidak punya ‘gigi’, hanya memang sekarang semua orang memproduksi informasi. Pers cuma salah satu pemain di situ. Ditambah lagi, media berebut remah-remah iklan. Jadi mengakalinya dengan cara itu,” paparnya. Mengamini Luviana, Firman menyadari bahwa agak rumit untuk menyikapi kasus Reynhard dengan meniadakan faktor orientasi seksualnya. Di satu sisi ia adalah pelaku kekerasan seksual, tapi di sisi lain ia adalah bagian dari kelompok marjinal. “Pemberitaan di media-media Indonesia lebih banyak seputar sensualisme. Padahal ini kesempatan untuk membahas lagi RUUPKS (Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual),” katanya. “Sementara publik punya pilihan [untuk mencari informasi dari sudut pandang lain] di media sosial, pers harus punya agenda sendiri,” imbuhnya. Erwin menjelaskan bagaimana media arus utama kerap juga memanfaatkan diskusi-diskusi yang terbentuk di media sosial sebagai pengingat bagi mereka dalam mengurasi berita. Redaksi, menurut Erwin, punya kontrol lebih besar untuk mengawasi berita-berita yang diproduksi oleh tim yang ada di pusat. Sayangnya, hal berbeda bisa terjadi dengan berita yang dikirimkan oleh biro-biro daerah serta reporter yang masih baru. “Apakah karena kekurangtahuan, ada berita-berita yang akhirnya dinilai ‘sampah’. Beruntungnya juga ada netizen. Media sosial tidak hanya sumber berita, tapi juga sebagai kontrol,” tuturnya. Mengakhiri diskusi ini, ketiga pembicara sepakat bahwa pers semestinya menjadi agen yang menggugah publik melalui pemberitaan-pemberitaan bersudut pandang kritis, alih-alih terbawa arus diskusi yang terbentuk di ranah publik. Pers semestinya tidak hanya membeo pada kepentingan politik pasar. Sebab, di situlah pers menjadi tidak punya suara. Pers harus mampu berfokus untuk tugasnya sebagai human right defender. Utamanya, dalam memberikan ruang pemberitaan representatif yang lebih fair bagi kelompok termarginalkan.